Refleksi Sabtu Pagi — 26/11/2021

yessi
3 min readNov 26, 2021

--

sampai hari ini, ada 1 mata kuliah yang punya tempat yang sangat spesial sekali di hati saya, namanya: Analisis Data Sekunder (teman-teman Sosiologi UI mungkin tau mata kuliah kuantitatif ini). seingat saya, UAS dari mata kuliah ini adalah paper singkat yang menjelaskan fenomena sosial berdasarkan 2 variabel dari dataset Bappenas. selama 1 semester, mahasiswa punya 3 kali kesempatan (kalau tidak salah) untuk berkonsultasi dengan dosen pengajar mengenai paper mereka. tentang variabel yang diambil, tentang penelitian pendukung, tentang analisa hasil tes statistik, dan lainnya.

saya ingat sekali pertemuan pertama saya. singkat, mungkin hanya 5 menit. apakah pertemuan singkat itu karena saya mengerti betul dengan apa yang saya kerjakan? justru sebaliknya. saya mengakhiri pertemuan dengan dosen saya (Mbak Evelyn yang dengan sangat sabar menhadapi kelinglungan saya saat itu. maaf dan terima kasih sekali ya, mbak) karena saya sudah tidak tahan lagi untuk pergi ke kamar mandi. sama seperti perempuan di bilik sebelah, saya pun mengeluarkan hal-hal yang tidak lagi saya inginkan untuk berada terlalu lama di dalam diri saya. seingat saya, ia mengeluarkan air seni sedangkan saya mengeluarkan air mata.

saya tidak pernah merasa se-terpuruk dan se-bodoh saat itu seumur hidup saya. air mata mengalir sederas keinginan saya yang ingin sekali berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. meskipun tentunya tidak saya lakukan karena saya tahu, banyak hal lain yang bisa saya lakukan di balik pintu saat itu, tapi kamar mandi tetap tempat umum, dan saya tidak ingin mengganggu kekhusyukan pengguna di bilik sebelah.

pertemuan pertama itu menyadarkan saya betapa tidak pantasnya saya ada di tengah teman-teman saya. saya berpikir, betapa sia-sianya saya mengambil hak orang lain yang lebih pantas untuk mengisi posisi saya, yang akan lebih menghargai kondisi saya. siapapun, yang pasti bukan saya.

lalu, bagaimana dengan paper UAS saya? apakah saya akhirnya bisa bangkit, belajar, dan menyelamatkan diri dengan belajar serajin-rajinnya? mungkin iya, jika hidup saya adalah sebuah film dengan tokoh utama yang heroik. meski kini saya bisa mengandaikan kondisi saya saat itu seperti sebuah film, pemeran utamanya tetaplah seorang mahasiswa payah yang diselamatkan pada detik-detik terakhir oleh dosen baik hati yang kasihan sekiranya saya yang tidak mampu secara akademis ini harus mengulang kembali mata kuliah yang menguras jiwa dan raga saya di semester depan.

singkat cerita; saya lemah, lemah sekali saat diminta untuk melakukan analisa statistik.

akhir-akhir ini, saya akhirnya mencoba lagi untuk belajar analisa data. kalau bahasa kerennya, Data Analyst dan Data Science, begitu. saya sampai pada rasa keingintahuan yang kuat sekali untuk mengetahui hubungan antar variabel. dan rasa keingintahuan yang kuat ini akhirnya mengantarkan saya kepada: dasar-dasar statistik (saya pun mempelajarinya sebagai salah satu mata kuliah dasar saat kuliah. entah mengapa mata kuliah ini tidak semengesankan mata kuliah Analisis Data Sekunder, sampai-sampai baru saya ingat kembali saat saya menuliskan cerita ini).

dari proses belajar ini akhirnya saya menyadari bahwa sebaik-baiknya masalah, adalah masalah yang diselesaikan. sekiranya saya tidak mampu memahami statistik, ada baiknya saya berusaha untuk memahaminya. karena mana tau di masa yang akan datang saya menghadapi masalah yang sama (seperti akhir-akhir ini), saya sudah menemukan jawabannya. tidak seperti saya sekarang yang akhirnya harus mempelajari (lagi) semuanya dari awal. mungkin jika saat itu saya mau berusaha lebih keras, saya bisa dengan lebih mudah dan cepat belajar saat ini.

tapi, saya juga menyadari hal lain.

saat itu saya merasa sangat frustrasi karena saya tidak paham sama sekali akan apa yang saya pelajari dan mengapa saya harus mempelajarinya. mungkin tidak semua orang harus seperti ini, tapi seringkali satu-satunya cara yang paling efektif bagi saya untuk belajar, adalah saat saya tahu kenapa saya harus mempelajari hal tersebut. jika tidak, saya cenderung untuk mengabaikannya saja.

mungkin saat ini saya punya pilihan untuk mengabaikan hal-hal yang tidak saya pedulikan. tapi saat kuliah dulu, saya tidak punya pilihan lain selain lulus dari mata kuliah; bagus jika saya paham, tidakpun tidak apa-apa, yang penting saya lulus.

mungkin proses frustrasi dan menangis yang saya ulang selama 4 tahun sampai lulus tanpa memahami apa yang saya tangisi itu perlu saya lalui untuk menyadari betapa berharganya waktu dan kesempatan yang saya punya untuk belajar berbagai macam hal saat kuliah dulu. dan betapa sia-sianya saya yang sudah membuang semua yang tidak bisa saya dapatkan kembali.

tapi,

mungkin juga, saya perlu melalui proses kesulitan, kesedihan, dan penyesalan untuk memahami apa yang sebetulnya saya cari dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.

--

--

yessi
0 Followers

likes to romanticize tragedy. because some of the most beautiful things happen at the most unfortunate events.